Pengalaman saya bekerja di industri garmen selama beberapa tahun telah memberikan saya banyak pengalaman dan gambaran mengenai bagaimana cara pengolahan kain, khususnya pemberian motif yang bertujuan untuk menambah keindahannya agar tampak lebih menarik.
Sejauh yang saya tahu, sebagian besar proses pewarnaan hingga pemberian motif akan melibatkan bahan kimia yang limbahnya seringkali kurang ramah bagi lingkungan.
Kekhawatiran bahaya lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia pada industri fashion membuat semakin banyak orang yang menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan dengan menerapkan ecoprint.
Mengenal Istilah “Ecoprint”
Secara umum, “ecoprint” bisa dimaknai sebagai sebuah teknik atau metode pencetakan alami yang menggabungkan berbagai unsur alam untuk mencetak motif pada media kain atau kertas.
Jadi, selain menggunakan bahan alami untuk mencetak warna atau motif, motifnya itu sendiri juga turut menggunakan bahan-bahan alam seperti dedaunan, bunga, kulit kayu, hingga ranting ataupun bunga-bunga.
Semua itu adalah bahan-bahan organik yang dapat dicetak pada kain untuk menghasilkan motif dengan prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainable).
Metode alami ini bisa membantu mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh metode pewarnaan atau pencetakan konvensional yang melibatkan bahan-bahan kimia.
Karena itulah ecoprint kerap dijuluki sebagai metode pencetakan berkelanjutan dalam dunia fashion.
Hingga saat ini, sebenarnya terdapat banyak orang yang mencoba menerapkan ecoprint dalam dunia fashion. Salah satunya adalah Alvira Oktaviani melalui brand bernama Semilir Ecoprint.
Alfira Oktaviani Penggagas Semilir Ecoprint
Alfira Oktaviani adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yang sudah lama bergelut di dunia fashion. Kecintaannya pada dunia fashion berawal dari ketertarikannya pada prinsip-prinsip ecoprint yang ramah lingkungan.
Macam-macam produk berbasis ecoprint yang dihasilkan oleh Alfira sangat beragam. Mulai dari, kain, tas, hingga berbagai macam aksesoris.
Pada awalnya, Alfira lebih banyak fokus membuat produk-produk yang berorientasi perusahaan atau untuk souvenir seminar seperti tas laptop dan lain sebagainya.
Untuk memperkenalkan produk-produk yang dibuatnya, pada tahun 2018, Alfira Oktaviani membangun sebuah brand bernama Semilir Ecoprint.
Pemilihan nama “Semilir” sendiri tidak lepas dari mimpinya yang ingin memberikan “angin segar” bagi para pelaku industri ecoprint, masyarakat, dan kelestarian lingkungan.
Selain terus mengembangkan usahanya dengan menambah koleksi produk ecoprint, Alfira juga giat mencari ide untuk inovasi. Karena menurutnya, inovasi adalah salah satu cara (yang harus ditempuhnya) untuk bisa bertahan dan memperluas pangsa pasar produk-produk ecoprint. Di samping, untuk menciptakan opsi-opsi yang lebih beragam bagi para pelaku usaha.
Saat sedang mencari ide untuk melakukan inovasi inilah ia diperkenalkan pada Kain Kayu Lantung khas Bengkulu oleh sang ayah.
Perkenalannya pada Kain Kayu Lantung (kain Lantung) bermula ketika sang ayah (yang kebetulan juga berasal dari Bengkulu) membawa sebuah souvenir berupa tas polos berbahan Kain Kayu Lantung.
Mengetahui keinginan putrinya untuk melakukan inovasi, sang ayah pun menantang putrinya untuk menerapkan ecoprint di atas tas polos tersebut.
Merasa punya peluang dan tertantang, Alfira giat melakukan berbagai percobaan untuk menerapkan ecoprint di atas kain Lantung. Untuk mendukung percobaannya, Alfira membeli kain Lantung di toko online dengan harga antara Rp 50-70 ribu per lembar.
Menerapkan ecoprint di atas permukaan kain Lantung ternyata tidak semudah serat alami lainnya. Karena kain ini sudah memiliki warna alami sebagai warna bawaannya. Namun dengan gigih ia tetap berusaha untuk mencoba.
Setelah melalui berbagai percobaan dan kegagalan, Alfira pada akhirnya berhasil menerapkan ecoprint di atas kain kayu Lantung, yang kemudian ia eksekusi menjadi produk.
Setelah berhasil membuat produk, ia pun mencoba memperkenalkan produknya tersebut kepada para customer, yang ternyata disambut dengan sangat antusias.
Sejarah Kain Kayu Lantung
Mengetahui produk ecoprint di atas kain Lantung yang dibuatnya mendapatkan sambutan positif dari pasar, Alfira pun ingin menggali lebih banyak informasi mengenai kain Lantung. Mulai dari, tempat produksi kain tersebut, bagaimana prosesnya? Dan, bagaimana pula sejarahnya?
Karena menurutnya, banyak customer yang tertarik dan ingin mengetahui bagaimana sejarah atau cerita asal-muasal produk-produk yang dibuat oleh Semilir Ecoprint.
Setelah mencoba mencari berbagai sumber informasi. Alfira pada akhirnya menemukan asal kain kayu lantung--yang ternyata berasal dari sebuah wilayah di pedalaman Bengkulu.
Karena tidak ingin setengah-setengah dalam melakukan riset, pada tahun 2020, Alfira resmi mengajukan proposal penelitian yang ditujukan kepada Fasilitas Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbud RI.
Setelah proposalnya disetujui, Alfira tak membuang-buang waktu dan langsung melakukan penelitian dengan mendatangi tempat asal produksi kain Lantung di Desa Papahan, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.
Dari penelitian inilah ia kemudian mengetahui bagaimana proses pembuatan kain khas Bengkulu ini, dan kondisi masyarakat di desa tersebut.
Masyarakat di desa Papahan yang menjadi asal produksi kain Lantung banyak yang menggantungkan hidupnya pada hasil penjualan kain dari kulit pohon terap tersebut.
Tapi mirisnya, kain yang pembuatannya mengorbankan pohon tersebut ternyata dijual dengan harga yang sangat rendah oleh masyarakat di Desa Papahan. Oleh masyarakat setempat, per lembar kain lantung dihargai antara 5-10 ribu rupiah saja. Padahal, kalau kita lihat di toko online, kain ini bisa dijual dengan harga 50 hingga 100 ribu rupiah.
Proses pembuatan kain lantung sendiri dimulai dari proses pencarian pokok (pohon) Lantung yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pohon terap (Artocarpus odoratissimus).
Adapun kriteria pohon yang dicari adalah pohon yang sudah berusia antara 5 hingga 10 tahun. Karena kulitnya dianggap paling ideal untuk membuat kain.
Masyarakat setempat mencari kulit pohon lantung di hutan dan kemudian menebangnya untuk kemudian diambil kulitnya.
Kulit pohon tersebut selanjutnya akan dipukul-pukul hingga tipis dengan menggunakan alat yang disebut “perikai” yang terbuat dari kayu keras atau tanduk kerbau.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat. Awal mula kulit kayu lantung digunakan sebagai pakaian bermula pada tahun 1943. Ketika penjajahan Jepang membuat kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan, hingga tak mampu membeli pakaian. Demi bisa berpakaian, pada saat itu banyak masyarakat yang mencoba berbagai alternatif pakaian dari kulit pohon. Dan, salah satunya adalah kulit pohon lantung (terap).
Memperjuangkan Kelangsungan Kain Lantung
Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, proses pembuatan kain lantung ini melibatkan penebangan pohon yang tentu saja berpotensi merusak lingkungan. Bertentangan dengan prinsip-prinsip yang selama ini diusung oleh Alvira, yaitu prinsip keberlanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan.
Karena itulah, Alfira mencoba untuk membuka audiensi dengan pihak-pihak berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu.
Usaha tersebut pada akhirnya membuahkan hasil. Pertemuan dan kerjasama antara Semilir Ecoprint dengan pihak DLHK Provinsi Bengkulu pun menghasilkan kesepakatan yang melegakan. Diantara kesepakatannya adalah, DLHK Provinsi Bengkulu bersedia menyediakan dan memberikan bibit pohon terap secara gratis kepada warga Desa Papahan, agar mereka bisa melakukan reboisasi dan melestarikan pohon Lantung.
Kain Lantung Menjadi Komoditi Unggulan Semilir Ecoprint
“Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI telah menetapkan Kain Kayu Lantung sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak tahun 2015.”
Saat ini, selain menggunakan bahan kain dari serat alami seperti kain sutera, linen, dan katun, Semilir Ecoprint juga membuat berbagai macam produk ecoprint berbahan kain Lantung.
Selain dibuat menjadi produk-produk berupa aksesoris hingga souvenir, ecoprint juga aktif mempromosikan produk kain Lantung dalam berbagai ajang, termasuk ajang fashion show.
Hal itu dilakukan, selain bertujuan untuk memperkenalkan produk Semilir Ecoprint, juga dimaksudkan untuk memperkenalkan kain lantung sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, sekaligus sebagai upaya untuk menjaga sustainable kain Lantung.
Atas usahanya tersebut, Alfira Oktaviani terpilih menjadi salah satu finalis pada ajang SATU Indonesia Awards di Bidang Kewirausahaan yang diadakan oleh PT Astra International Tbk untuk periode 2022.
Keberhasilan Alfira menyabet gelar finalis SATU Indonesia Awards 2022 tentu saja sangat disyukurinya. Tapi lebih dari itu, ia berharap kemenangan ini bisa menjadi jalan untuk memperkenalkan ecoprint, bisa menjadi berkah bagi masyarakat di daerah produksi (Bengkulu dan Yogyakarta), dan bisa menjadi pendukung kelangsungan kain Lantung itu sendiri.
Selain berharap bisa meningkatkan kesadaran masyarakat pada keindahan dan keunikan kain Lantung, Alfira juga ingin memperkenalkan Kain Lantung sebagai salah satu alternatif bahan dasar berbagai macam produksi kerajinan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Alfira juga berharap kain Lantung suatu saat nanti akan terdaftar sebagai salah satu warisan budaya di UNESCO.
Yuk, dukung cita-cita Alfira ini dengan ikut mengkampanyekan kain lantung sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang sarat akan sejarah dan berperan dalam menjaga lingkungan dari kerusakan akibat penggunaan bahan kimia atau penggunaan serat non-alami pada industri fashion.
No comments:
Post a Comment